Subscribe:

Ads 468x60px

Social Icons

Minggu, 11 Mei 2014

Percaya Pada Siapa lagi.....? (Ketika Pemerintah Tidak Dipercaya Lagi)

Judul ini kami harap akan memberikan sedikit cela untuk melihat keadaan negara ini dari sisi yang berbeda. Karena negara tercinta ini sudah sangat sekarat penuh dengan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Tidak ada lagi rasa percaya di hati, apalagi jika berbicara tentang para pemimpin dan pemangku kebijakan negeri ini serta wakil rakyat yang mereka berbondong-bondong datang memenuhi panggilan KPK. Kecurigaan, souzon dan apapun istilahnya selalu menyertai keputusan dan kebijakan para pemerintah di hati rakyat.

Krisis kepercayaan yang ditimbulkan dari maraknya penyalahgunaan kekuasaan menjadikan rakyat buta akan kebenaran dan kepercayaan pada para pemimpin. Pelaku Politik tidak sehat saling adu domba dan dukung kepentingan masing-masing, hingga rakyat menjadi bingung  dan tersulut emosi.

Mau di bawa ke mana negeri ini...?

Namun, seperti yang saya katakan tadi ada sudut bagi kita untuk melihat sedikit sisi yang lain dari pemerintah negara ini. Di mana masih banyak nilai-nilai kebenaran yang bisa kita lihat dari setiap kebijakan, keputusan ataupun sistem yang telah dibuat pemimpin dan para wakil negeri ini. Sistem dan kebijakan itu sangat baik jika dilihat dari sudut yang berbeda, namun jadi masalah saat kita hanya gegabah dan tanpa rasa percaya pada setiap kebijakan tersebut.

Satu contoh saja. Kita lihat dunia pendidikan yang menjadi cetakan generasi masa depan bangsa. Pemerintah terus berupaya membuat kurikulum yang bisa saya katatakan sangat luar biasa "mantap" walaupun penuh dengan kontroversi. Kesempurnaan terus dikembangkan dan dipikirkan tanpa henti. Namun, karna ulah oknum, propokasi dari lawan pemangku kebijakan, rasa iri dan lain sebagainya bahkan penyalahgunaan jabatanpun serta rasa serakah, ikut tumbuh dalam sistem dan kebijakan dunia pendidikan tersebut. Tambah lagi kesadaran dan krisis kepercayaan yang tadi hadir di hati para rakyat merambah ke tenaga pendidik negeri ini.

Guru yang tadinya menjadi contoh dari kebijakan sikap dan keluhuran budi terprofokasi oleh tekanan dan keadaan yang sangat sulit. Terikat oleh kepentingan dan rayuan dunia, menjadikan meraka gelap dan lupa akan gelar yang mereka sandang sebagai seorang pendidik dan pencerah generasi bangsa yang mulia.

Salah satu konflik antara pemerintah dan dewan guru yang tidak mesti ada di dalamnya. Yakni terkait masalah Ujian Nasional yang penuh dengan penolakan oleh guru. Coba kita melihat sejenak. Apa masalah dari ujian terebut. Bukankah UN merupakan sebuah evaluasi untuk menentukan dan menguji kelayakan standar pendidikan. Bukankah standar itu perlu ada sebagai target dan motivasi untuk maju. Menjadi bukti akan adanya sebuah mutu dari hasil didikan. Lalu bagaimana jika negara ini punya banyak standar saat setiap lembaga pendidikan menentukan kebijakan sendiri. Bagaimana negara ini harus mengatur semua itu.

Di satu sisi lagi tentang ujian nasional penuh dengan penolakkan khususnya di daerah-daerah,  di mana guru dan dan masyarakat menolak keras dan tidak mendukung ujian nasional dengan alasan mereka tidak punya sarana dan prasarana yang sama dengan di kota. Padahal apa urusannya. Standar Kelulusan Ujian Nasional yang telah di tatepkan pemerintah sebagai kisi-kisi evaluasi atau SKL soal UN tidak ada hubungannya dengan sarana yang dijadikan alasan tersebut.

Pemerintah hanya memulai evaluasi dari segi teori saja, bukan praktek dilapangan. Soal yang di ujikan hanyalah soal yang sudah ditetapkan dalam SKL UN dan telah disebarkan untuk diajarkan dan ada di dalam buku ajar yang telah ada di sekolah-sekolah baik di kota maupun di daerah-daerah. Tinggal bagaimana guru menyampaikan dan mengajarkan hal tersebut kepada peserta didiknya.

Anehnya lagi, dibeberpa tempat kami temukan banyak kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN. Di media masa melaporkan terjadinya pelanggaran dan kecurngan UN. Ironisnya, pelakukanya tidak lain adalah seorang guru. Mereka berdalih kalau tak begini tidak akan lulus anak didik kami. Habatnya pemerintah dan oknum pengawas terkait seolah menjadikan ini sebagai rahasia umum yang ditanam. Mereka kecewa dengan UN tapi membiarkan sistem merusak moral merek yang secara tidak langsung memberikan didikan buruk pada generasi dan menitipkan bom kehancuran pada negerasi yang akan meledak pada suatu waktu. Apasalahnya kejujuran tetap jadi prioritas untuk membangun generasi, biarkan peserta didik belajar tentang mandiri dan hidup.

Menolak UN dengan kecurangan tentu akan merugikan diri dan generasi. Bagaimana tidak pemerintah melalui UN mengharapkan hasil yang baik untuk menghapus kontroversi bahwa UN bukanlah solusi dan uji kelayakan standar pendidikan. Saat sukses menyurangi UN, bukankah akan menjadikan standar itu cacat. Standar yang cacat akan menggagalkan kekokohan berdirinya pendidikan. Bukankah begitu. Tidak mungkin pemerintah membuat standar yang tidak sesuai dengan keadaan generasi pada suatu waktu, jika semua sudah diuji dan diteliti oleh pakar pendidikan. Kecuali jika objek yang diteliti bersifat fiktif dan dusta.

Sekarang siapa yang memberikan informasi yang fiktif itu.......? Renungkanlah apakah dewan guru, siswa atau kita sebagai masyarakat yang tinggal dilingkungan pendidikan atau juga pemerintah yang selalu meminta data pada lembaga pendidikan sebagai pengumpul data riset. Jawaban itu mungkin kita punya.

Semua yang kita jalani ini adalah sebuah sistam yang mesti ada dan mau atau tidak semua akan dilaksanakan. Namun, semua mungkin akan membaik jika hanya kita saling percaya dan jujur dalam mengambil sikap.